The Buddha temple, start with incense stick |
One of the huge temple in Battambang, Cambodia |
Best pose di salah satu Temple di Battambang |
The Killing Cave, haunted and mysterious |
Perjalanan dari Siem
Reap menuju Battambang lumayan bikin bokong saya pegel. Seperti habis gantiin
Inul atau Anisa Bahar manggung semaleman! Sekitar empat jam perjalanan yang saya tempuh dengan menumpang bus, lumayan menguras energi. Namun sepanjang perjalanan,
hamparan lahan sabana yang hijau, persawahan, dan perumahan warga sekitar
lumayan mencuri perhatian. Cukup untuk mencuci mata yang tadinya terkantuk.
Kawasan suburbia di Kamboja tidak begitu padat
oleh permukiman warga. Banyak lahan kosong yang dimanfaatkan untuk sawah dan
sabana hijau untuk menggembalakan ternak mereka, yaitu sapi, juga kebo.
Beberapa dimanfaatkan untuk pembudidayaan tanaman bunga lotus. Secara warga
di sini yang rata-rata umat Buddha menggunakan bunga lotus sebagai sarana
persembahyangan mereka.
Battambang
city,
merupakan kota besar ke empat di Kamboja, setelah Phnom Penh, Siem Reap dan Sihanouk Ville. Hectic.
Berkendaraan di sini sama seperti berkendaraan di Siem Reap. Beberapa persimpangan
jalan tidak ada lampu lalu lintas. Cukup berbahaya, karena orang-orangnya kebanyakan suka memotong jalan atau menyeberang tanpa menghiraukan keadaan
sekitar (sama aja sih kayak orang Indonesia ya?). Sempat sekali saya hampir
menabrak seorang perempuan yang menyeberang dengan sepeda tanpa menoleh kalau saya ada di belakangnya.
Beberapa tempat wisata
yang sudah saya kunjungi adalah central
market. Kalo yang ini mah hampir tiap hari! Karena saya tinggal dekat sini. Selama berada di Battambang, saya pakai motor yang lumayan jadul. Seorang teman
menyewa dengan harga $5/hari. Lebih nyaman seperti ini karena bisa ke mana-mana
semau kita. Gak bakal tersesat. Paling cuma nyasar. Berbelanja di sini
lumayan bikin saya frustasi. Alasannya karena:
Pertama, para pedagang
gak ada yang bisa bahasa inggris seperti saya. Biasa bahasa inggris saya kan udah
ngalir kayak air nih, level advance gitu. Para
pedagang mengira saya ini adalah orang lokal, karena memang dari segi wajah kan
hampir sama (bukan berarti wajah saya pasaran ya). Jadi mereka tetap menggunakan
bahasa Khmer. Jadilah kita lost in
translation. Di saat krisis seperti ini, ketika mereka pakai bahasa Khmer
dan saya pakai bahasa Bali, bahasa Indonesia sampai bahasa Inggris. Sudah mulai
campur sari deh pokoknya bahasa saya! Dengan mengumpat kesal, maka keluarlah
bahasa tubuh yang elegan. Ini cukup membantu di saat krisis berbelanja,
di mana kita berwisata ke tempat yang orang-orangnya gak bisa berbahasa inggris,
seperti situsai saya saat ini.
Kedua, mata uang di sini
kadang bikin bingung. Saat saya selesai memilih sesuatu dan bersiap untuk
membayar, mereka akan berkata dengan diakhiri kata 'prang..prang..prang' entah apa maksud
mereka. Rata-rata setiap pedagang yang saya hampiri, setelah melakukan proses
pembayaran, pasti mereka akan berkata seperti itu. Maka saya keluarkan saja mata
uang Dollar. Di Kamboja US Dollar sangat diterima, selain mata
uang mereka, Riel. Terkadang
bikin bingung juga, pas saya bayar pakai Dollar, kembaliannya bisa berupa Riel. US $1=4000 Riel. Gak apa juga sih ketimbang kembaliannya dikasi ciuman. Berhubung matematika saya jelek nih, jadi pasrah dan percayakan sajalah sama mereka.
Paling juga kalau mereka nyari untung lebih, cuma beberapa cent aja. Duit masih banyak! Tenang…(hmm..songong…sok…sok tajir! Padahal
habis itu korek-korek dompet lagi).
Hari pertama di Battambang saya cuma muter-muter sekitar kota. Memandangi maskot kota Battambang, yaitu
TaDambang Statue. Patung pria hitam
yang bersimpuh sambil menengadahkan pedang. Melihat patung itu, saya langsung
melirik tubuh sendiri. Oh, untunglah saya masih terlihat lebih cerah. Pasti
patung itu gak pernah pake Citra beauty
lotion kayak saya. Secara di sini panas banget! Selain itu lokasi kota yang
dekat dengan aliran sungai, yang di samping kiri kanannya terdapat taman yang
asri. Jadi nyaman banget nongkrong di taman sambil jogging atau cuma duduk memandangi aliran sungai. Asal jangan di
malam hari! Banyak lady boy alias
banci nongkrong disini cyiin! (lho?
Kok ikutan banci…? Maap!).
Hari kedua, saya berkunjung
ke beberapa temple yang ada di pusat
kota dan juga dua temple yang ada
sekitar 12 km dari pusat kota. Dua temple yang
berlokasi di pedesaan ini sangat bagus, dan yang satunya berada di puncak bukit
yang sejuk. Sebelum memasuki area temple,
beberapa anak kecil, gelandangan dan pengemis menarik-narik saya, berkata dengan
bahasa lokal mereka. Gak usah ditanya lagi pasti mereka mau minta duit. Tiga
bocah centil, lusuh dan menggelikan ini tidak bisa saya hentikan. Mereka terus
mengikuti saya sampai ke anak tangga. Celana saya ditarik-tarik. Mereka mulai
mencubit, menggigit, mencakar-cakar. Buas. Mereka menyangka kalo saya juga orang
Khmer. Emosi saya pun memuncak, saat aksi mereka semakin brutal, hingga membuat
celana saya setengah melorot memarkan bokong saya yang untungnya diselimuti
boxer. Untung inget pake boxer! (maklum biasanya enggak hehehe…) Dengan
menghela nafas akhirnya saya pun mengalah. Saya keluarkan dompet dan memberi
mereka duit masing-masing 200 Riel. Gak
apa! Amal. Alhamdulilah yah, sesuatu…di mana pun kita berada, amal itu harus
tetap dijalankan. Habis itu saya lanjut jalan, sambil menaikkan celana yang
melorot dulu tentunya (Jadi tadi pas bagi-bagi duit masih dalam keadaan celana
melorot…? Waduh!).
Temple
yang saya kunjungi di atas bukit ini sangatlah menarik perhatian. Berasa mengunjungi pura yang ada di Bali seperti Pura Lempuyang atau Pura Luhur
Jayaprana yang ada di Buleleng barat. Karena landscape-nya yang mengharuskan kita untuk menaiki anak tangga
ke atas bukit yang lumayan menguras keringat. Sebelum kita mencapai puncak temple, kita melewati beberapa anak temple yang sangat memikat perhatian.
Anak temple pertama, terdapat patung
Buddha berwarna emas yang tidur terlentang sambil tersenyum manis manja. Imut
bangeeet ini Buddha! Setelah itu anak yang kedua, saya melihat patung Buddha ede banget bersila dan berwarna keemasan pula dengan jubah berwarna merah maroon. Sampai akhirnya setelah hampir
kehabisan nafas, sampai juga di puncak atau temple
utama. Seperti biasa warna keemasan selalu mendominasi bangunan. Juga terdapat
pagoda yang menjulang indah. Di sebelah kanan sebelum memasuki area temple dan pagoda, terdapat anakan
tangga lain menuju ke sebuah gua yang membuat saya sedikit merinding. Ternyata
anakan tangga menurun tersebut menuju ke sebuah gua yang disebut “The Killing cave”. Tempat ini dipakai
pada masa kejayanaan Pol Pot untuk
membunuh para cendikiawan ataupun pihak oposisi pada masanya. Memasuki area Killing Cave ini benar-benar membuat
imajinasi saya liar dan berpikir bagaimana orang-orang pada masanya, nyawa
mereka diakhiri secara tidak manusiawi di tempat ini. Bulu kuduk saya pun
merinding. Bulu yang di bawah pun rontok. Sepi.
Sejarah Kamboja
sangatlah unik. Dulu sebenarnya agama hindu merupakan aspek yang sangat
mendominasi negara ini. Temple-temple
di sini dulunya diperuntukkan sebagai tempat persembahyangan para umat Hindu.
Namun beberapa dekade setelah kekuasan rezim Angkor tumbang, Agama Buddha mulai
masuk dengan pengaruh yang dibawa oleh para imigran China.
Setalah seharian
mengeksplorasi temple and the killing cave. Saya merasakan kulit sedikit terbakar. Panas sekali memang di sini dan saya lupa memakai sunblock. Pun hanya memakai singlet.
Berniat memamerkan lengan seksi, eh ujung-ujungnya kulit jadi terbakar. Maka saya pulang dengan gontai, mengelus-elus pundak yang berasa terbakar dan
sepertinya berbentuk singlet…
No comments:
Post a Comment
would be glad to receive any comment