Wednesday, September 21, 2011

Liburan Part 4: Battambang, Temples and The Killing Cave

The Buddha temple, start with incense stick

One of the huge temple in Battambang, Cambodia


Best pose di salah satu Temple di Battambang

The Killing Cave, haunted and mysterious

Sebelumnya: Part III, Part II, Part I

Perjalanan dari Siem Reap menuju Battambang lumayan bikin bokong saya pegel. Seperti habis gantiin Inul atau Anisa Bahar manggung semaleman! Sekitar empat jam perjalanan yang saya tempuh dengan menumpang bus, lumayan menguras energi. Namun sepanjang perjalanan, hamparan lahan sabana yang hijau, persawahan, dan perumahan warga sekitar lumayan mencuri perhatian. Cukup untuk mencuci mata yang tadinya terkantuk.


Kawasan suburbia di Kamboja tidak begitu padat oleh permukiman warga. Banyak lahan kosong yang dimanfaatkan untuk sawah dan sabana hijau untuk menggembalakan ternak mereka, yaitu sapi, juga kebo. Beberapa dimanfaatkan untuk pembudidayaan tanaman bunga lotus. Secara warga di sini yang rata-rata umat Buddha menggunakan bunga lotus sebagai sarana persembahyangan mereka.

Battambang city, merupakan kota besar ke empat di Kamboja, setelah Phnom Penh, Siem Reap dan Sihanouk Ville. Hectic. Berkendaraan di sini sama seperti berkendaraan di Siem Reap. Beberapa persimpangan jalan tidak ada lampu lalu lintas. Cukup berbahaya, karena orang-orangnya kebanyakan suka memotong jalan atau menyeberang tanpa menghiraukan keadaan sekitar (sama aja sih kayak orang Indonesia ya?). Sempat sekali saya hampir menabrak seorang perempuan yang menyeberang dengan sepeda tanpa menoleh kalau saya ada di belakangnya.

Beberapa tempat wisata yang sudah saya kunjungi adalah central market. Kalo yang ini mah hampir tiap hari! Karena saya tinggal dekat sini. Selama berada di Battambang, saya pakai motor yang lumayan jadul. Seorang teman menyewa dengan harga $5/hari. Lebih nyaman seperti ini karena bisa ke mana-mana semau kita. Gak bakal tersesat. Paling cuma nyasar. Berbelanja di sini lumayan bikin saya frustasi. Alasannya karena:

Pertama, para pedagang gak ada yang bisa bahasa inggris seperti saya. Biasa bahasa inggris saya kan udah ngalir kayak air nih, level advance gitu. Para pedagang mengira saya ini adalah orang lokal, karena memang dari segi wajah kan hampir sama (bukan berarti wajah saya pasaran ya). Jadi mereka tetap menggunakan bahasa Khmer. Jadilah kita lost in translation. Di saat krisis seperti ini, ketika mereka pakai bahasa Khmer dan saya pakai bahasa Bali, bahasa Indonesia sampai bahasa Inggris. Sudah mulai campur sari deh pokoknya bahasa saya! Dengan mengumpat kesal, maka keluarlah bahasa tubuh yang elegan. Ini cukup membantu di saat krisis berbelanja, di mana kita berwisata ke tempat yang orang-orangnya gak bisa berbahasa inggris, seperti situsai saya saat ini.

Kedua, mata uang di sini kadang bikin bingung. Saat saya selesai memilih sesuatu dan bersiap untuk membayar, mereka akan berkata dengan diakhiri kata 'prang..prang..prang' entah apa maksud mereka. Rata-rata setiap pedagang yang saya hampiri, setelah melakukan proses pembayaran, pasti mereka akan berkata seperti itu. Maka saya keluarkan saja mata uang Dollar. Di Kamboja US Dollar sangat diterima, selain mata uang mereka, Riel. Terkadang bikin bingung juga, pas saya bayar pakai Dollar, kembaliannya bisa berupa Riel. US $1=4000 Riel. Gak apa juga sih ketimbang kembaliannya dikasi ciuman. Berhubung matematika saya jelek nih, jadi  pasrah dan percayakan sajalah sama mereka. Paling juga kalau mereka nyari untung lebih, cuma beberapa cent aja. Duit masih banyak! Tenang…(hmm..songong…sok…sok tajir! Padahal habis itu korek-korek dompet lagi).

Hari pertama di Battambang saya cuma muter-muter sekitar kota. Memandangi maskot kota Battambang, yaitu TaDambang Statue. Patung pria hitam yang bersimpuh sambil menengadahkan pedang. Melihat patung itu, saya langsung melirik tubuh sendiri. Oh, untunglah saya masih terlihat lebih cerah. Pasti patung itu gak pernah pake Citra beauty lotion kayak saya. Secara di sini panas banget! Selain itu lokasi kota yang dekat dengan aliran sungai, yang di samping kiri kanannya terdapat taman yang asri. Jadi nyaman banget nongkrong di taman sambil jogging atau cuma duduk memandangi aliran sungai. Asal jangan di malam hari! Banyak lady boy alias banci nongkrong disini cyiin! (lho? Kok ikutan banci…? Maap!).

Hari kedua, saya berkunjung ke beberapa temple yang ada di pusat kota dan juga dua temple yang ada sekitar 12 km dari pusat kota. Dua temple yang berlokasi di pedesaan ini sangat bagus, dan yang satunya berada di puncak bukit yang sejuk. Sebelum memasuki area temple, beberapa anak kecil, gelandangan dan pengemis menarik-narik saya, berkata dengan bahasa lokal mereka. Gak usah ditanya lagi pasti mereka mau minta duit. Tiga bocah centil, lusuh dan menggelikan ini tidak bisa saya hentikan. Mereka terus mengikuti saya sampai ke anak tangga. Celana saya ditarik-tarik. Mereka mulai mencubit, menggigit, mencakar-cakar. Buas. Mereka menyangka kalo saya juga orang Khmer. Emosi saya pun memuncak, saat aksi mereka semakin brutal, hingga membuat celana saya setengah melorot memarkan bokong saya yang untungnya diselimuti boxer. Untung inget pake boxer! (maklum biasanya enggak hehehe…) Dengan menghela nafas akhirnya saya pun mengalah. Saya keluarkan dompet dan memberi mereka duit masing-masing 200 Riel. Gak apa! Amal. Alhamdulilah yah, sesuatu…di mana pun kita berada, amal itu harus tetap dijalankan. Habis itu saya lanjut jalan, sambil menaikkan celana yang melorot dulu tentunya (Jadi tadi pas bagi-bagi duit masih dalam keadaan celana melorot…? Waduh!).

Temple yang saya kunjungi di atas bukit ini sangatlah menarik perhatian. Berasa mengunjungi pura yang ada di Bali seperti Pura Lempuyang atau Pura Luhur Jayaprana yang ada di Buleleng barat. Karena landscape-nya yang mengharuskan kita untuk menaiki anak tangga ke atas bukit yang lumayan menguras keringat. Sebelum kita mencapai puncak temple, kita melewati beberapa anak temple yang sangat memikat perhatian. Anak temple pertama, terdapat patung Buddha berwarna emas yang tidur terlentang sambil tersenyum manis manja. Imut bangeeet ini Buddha! Setelah itu anak ­yang kedua, saya melihat patung Buddha ede banget bersila dan berwarna keemasan pula dengan jubah berwarna merah maroon. Sampai akhirnya setelah hampir kehabisan nafas, sampai juga di puncak atau temple utama. Seperti biasa warna keemasan selalu mendominasi bangunan. Juga terdapat pagoda yang menjulang indah. Di sebelah kanan sebelum memasuki area temple dan pagoda, terdapat anakan tangga lain menuju ke sebuah gua yang membuat saya sedikit merinding. Ternyata anakan tangga menurun tersebut menuju ke sebuah gua yang disebut “The Killing cave”. Tempat ini dipakai pada masa kejayanaan Pol Pot untuk membunuh para cendikiawan ataupun pihak oposisi pada masanya. Memasuki area Killing Cave ini benar-benar membuat imajinasi saya liar dan berpikir bagaimana orang-orang pada masanya, nyawa mereka diakhiri secara tidak manusiawi di tempat ini. Bulu kuduk saya pun merinding. Bulu yang di bawah pun rontok. Sepi.­

Sejarah Kamboja sangatlah unik. Dulu sebenarnya agama hindu merupakan aspek yang sangat mendominasi negara ini. Temple-temple di sini dulunya diperuntukkan sebagai tempat persembahyangan para umat Hindu. Namun beberapa dekade setelah kekuasan rezim Angkor tumbang, Agama Buddha mulai masuk dengan pengaruh yang dibawa oleh para imigran China.

Setalah seharian mengeksplorasi temple and the killing cave. Saya merasakan kulit sedikit terbakar. Panas sekali memang di sini dan saya lupa memakai sunblock. Pun hanya memakai singlet. Berniat memamerkan lengan seksi, eh ujung-ujungnya kulit jadi terbakar. Maka saya pulang dengan gontai, mengelus-elus pundak yang berasa terbakar dan sepertinya berbentuk singlet…

Bersambung ke Part 5



Follow My:

No comments:

Post a Comment

would be glad to receive any comment