Menikmati banjir di kota Siem Reap |
Sungai Mekong yang meluap, gue? Tetep begaye.... |
Apa yang istimewa dari
kamboja selain temple-nya?
Hmmmmm.. saya masih mikir tentang yang satu ini. Dijambak pengemis sampe celana melorot, udah. Hampir
nabrak perempuan tua yang bawa sepeda di jalan raya, udah. Keciprat sana-sini
akibat banjir, apalagi. Sampe disangka tukang ojek gegara bonceng temen bule, juga iya.
Kemana saya melangkah sepertinya the nasib selalu mengintai. Tapi tidak apa, this is great experience!
Sabtu, 24 September, saya balik ke kota Siem Reap. Setelah luntang lantung gak jelas di kota
Battambang selama seminggu lebih. Mengunjungi teman bule yang mengajar bahasa
inggris di Battambang University. Tapi lumayanlah, gak luntang lantung amat. Sempat
mengunjungi temple, the killing cave,
pasar tradisional (jambak-jambakan sama dagang), dan juga mencoba beberapa
kuliner lokal. Menjelajahi kota dengan motor jadul (ala Honda Legenda ato
Astrea, ngetop di sini!). Sudah seperti seorang ojek yang siap mencari
langganan.
Hampir seminggu lebih
meninggalkan kota Siem Reap, kini saya balik, masih juga disambut dengan banjir
di sebagian ruas jalan. Memang kota ini dilintasi sungai besar yang selalu
meluap ketika musim hujan turun. Apalagi tiga hari terakhir hujan tiada
hentinya mengguyur kota Siem Reap. Hampir di seluruh wilayah Kamboja malah. Namun untungnya
kali ini saya tinggal di guesthouse yang tanpa harus menikmati banjir kalo mau keluar mencari makan. Gak kayak di guesthouse waktu pertama kali nyampe
di sini. Masak ngasi saya welcome drink
air banjir! Mentang-mentang lagi banyak dan tinggal sendok di pintu gerbangnya,
juga mentang-mentang kulit saya rada butek sama kayak air banjir.
Dari Battambang saya berangkat pukul 9.30 pagi, menumpang bus selama empat jam, hingga nyampe di guesthouse sekitar pukul 2.00 siang. Itupun harus turun di terminal yang
digenangi banjir. Untung ya, memang aksen bicara saya gak kayak Cinca Laura,
jadi saya dapat ojek (tuk tuk gak bisa menjangkau saya saking airnya menggenang sepaha). Lumayanlah $1 saja untuk sampai ke guesthouse. Setelah sampai di guesthouse, saya rapih-rapih, then keluar untuk laundry beberapa pakaian kotor, dan menyewa sepeda. Harga sewa
sepeda $1/hari. Sepedanya imut. Kayak sepeda nyokap saya waktu SD dulu gitu.
Ada keranjang di depannya. Sumpah saya berasa elegan, manis, ngegemesin!! Pantes
deh buat dijorokin ke sungai yang lagi meluap.
Setelah mendapat
sepeda, akhirnya saya memutuskan untuk jalan-jalan mengitari kota, central park, dan central market. Kota ini memang hips
banget. Sama seperti Kuta kalau di Bali. Karena di sini pusat turis di
Kamboja. Banyak bule berkeliaran. Pun banyak hotel dan guesthouse bertebaran di setiap pinggiran
ruas jalan. Turis datang ke sini dengan tujuan utama mengunjungi Angkor Wat yang
super terkenal itu. Maklum Cuma 8 Km saja dari kota. Selain itu kebanyakan
bule di sini mereka mengajar bahasa inggris dan juga ada yang sebagai Volunteer.
Malam harinya setelah
beristirahat sehabis beresepeda ria, alias gowes akhirnya
si perut buncit menggemaskan ini keroncongan. Memang jadul! Gak mau R&B-an
aja kek, Hip-Hop-an kek. Perut saya kalo dah laper emang suaranya itu ngalahin
Waljinah! Okeh, akhirnya saya cuma menuju depot makan yang berada di seberang
jalan dekat guesthouse. Gak tau
kenapa saking lapernya saya maen nyosor aja tanpa noleh ini stand makanan apa. Karena saya lihat rame banget yang makan. Udah
duduk, saya nanya ada daftar menu nggak. Ternyata gak ada. Mereka cuma menjual
dua jenis makanan, duck roast (bebek
panggang) sama beef BBQ (sapi
panggang). Saya bingung donk, noleh lagi ke stand
yang saya lewati tadi. Oh ternyata, saya baru
nyadar. Ya gak apalah akhirnya saya putuskan memesan keduanya. Maruk banget kan? Ternyata setelah makanannya datang, hmmm saya gak menyesal! Bebek panggangnya, yum! Dengan bumbu cocol berbahan asam, irisan bawang
dan cabe, nyantol di lidah. Terus sapi panggangnya, disajikan sudah diiris
kecil dengan saus yang aromanya udah bikin ngiler. Seperti jejeruk kalau di
Bali. Dan saus itu ditambahkan irisan sereh, cabe rawit dan taburan kacang
tanah goreng yang sudah di haluskan. Maknyuz kalo Om Bondan Prakoso bilang (eh
itu penyanyi bukan?). Makanan itu disajikan dengan bereneka sayur segar
seperti wortel, mentimun dan gak tau pisang muda apa itu (sudah diiris tipis),
juga kembang kol, serta beraneka dedaunan yang saya juga gak tau entah daun apaan,
yang bikin saya berasa kayak kambing! But this
food is so delicious! Worth it! Korek-korek dompet, total 22.000 Riel. Sekitar
$6.
Seminggu lebih di
kamboja saya udah nyoba beberapa makanan lokal. Ada beberapa yang saya gak suka
di lidah. Misalnya saja, chicken with
ginger root. Gila ini masakan saya coba beli di sebuah pasar tradisional di
Battambang, udah asin, terus rasanya jahe doank! Mana ayamnya! Udah ayamnya
tulang doank lagi! Mana isinya?! Mungkin karena saya belinya di pasar
tradisional kali ya! Kalo menurut saya sih mending makan di small café atau restaurant.
Gak terlalu mahal. Dengan rasa yang terjamin. Beberapa masakan lokal yang udah saya coba di beberapa café dan restaurant dan saya suka yaitu beef with lemongrass, amok fish/chicken, fried
yellow khmer noodle, luk lak beef dan nasi gorengnya juga enak dengan
berbagai isian dan bumbu yang variatif. Oh iya, harga beer dan aneka cocktail
di sini juga murah lho…
Di hari minggu ini,
hari kedua sudah di Siem Reap. Saya memutuskan untuk mengunjungi pasar tua yang
berada dekat sungai. Dengan ditemani si sepeda imut, menerobos jalan raya
yang digenangi banjir setinggi paha. Sialan! Tumben saya bersepeda di jalanan
yang digenangi banjir. Langsung turun berat badan. Keringet mengucur
diseluruh tubuh. Berat banget dikayuh L. Apalagi setiap
ada mobil lewat, air seperti membentuk ombak dan membuat kestabilan dan
kepiwaian bersepeda saya diuji. Tapi saya bukanlah orang yang gampang frustasi
dan stress. Saya turun, sepeda saya taruh di pundak. Eaaa..! Dalam keadaan
apapun saya tetap tersenyum and cheers…!
Jeprat jepret, momen-momen indah dan mengharukan ini pun sempet saya abadikan. Inget
jangan pernah menyerah walaupun dalam situasi genting seperti ini. Eksis! Itu harus
tetap dijaga. Yuk mari!
Situasi pasar pun
becek, digenangi banyak air. Jelas saja, karena lokasi pasar yang hanya
berjarak sepuluh meter dari aliran sungai. Saya menyempatkan diri melihat-lihat
beberapa pakaian dan pernak-pernik untuk oleh-oleh. Unik-unik memang. Akhirnya saya putuskan untuk membeli yang murah-murah sajalah yang penting unik dan dapet
banyak. Siapa juga mau beliin oleh-oleh yang mahal. Mending beli yang mahal
buat saya sendiri (bukan bermaksud memancing emosi ya temanku yang menunggu
oleh-oleh, tapi budget ngepas!).
Akhirnya saya beli lima belas Keramas
(seperti selendang), gantungan kunci dengan lambang Angkor Wat dan scarf dengan motif khas Kamboja (buat
nyokap nih, inget surga itu ada ditelapak kaki ibu! Jadi yang spesial harus
buat beliau. Saya gak mau dikutuk jadi kebo!). Kalo beli baju atau celana, mau
beli yang kayak gimana…? Bingung. Yang jelas untuk urusan fashion enggaklah belanja di sini. Mending nanti pas di Bangkok atau di Singapore aja
yaa...sabar!
Setelah puas
berbelanja, waktunya lanjut foto-foto di sekitar sungai. Foto ala terjun bebas.
Ala kelelep butuh bantuan tapi gak ada yang bantu. Ala berenang gaya batu. Hingga
sampe jam makan siang tiba dan menikmati makan siang di sebuah Mexican cafe.
-----------------------********--------------------------
Sekitar hampir dua
minggu saya melepaskan diri sejenak dari gemerlapnya kehidupan di Bali. Kini saya merasakan bagaimana rasanya menjalani hidup yang sebenarnya (sok…songong, mulai
kambuh neh). Bagaimanapun juga saya selalu membanding-bandingkan Bali dengan
Kamboja. Tapi, setiap ditanya orang, “jadi
gimana? Hal apa yang paling lo rasa berbeda di Kamboja?” saya cuma bisa garuk-garuk
kepala. Mencoba berpikir. Mengalihkan perhatian. Sambil berlagak normal saya tersenyum. Ternyata kutu dan ketombe semenjak liburan di sini mulai tidak bisa saya kendalikan. Pada intinya belum tahu apa ya…
No comments:
Post a Comment
would be glad to receive any comment