Saturday, September 17, 2011

Liburan Part II: Siem Reap

Banjir lagi Banjir lagi, gegara si kue putu lewat
Arsitekturnya keren

Sebelumnya: Click here

Akhirnya sampai juga di Siem Reap, Kamboja. Yay! Setelah sekitar satu jam lima belas menit di dalam pesawat ditemani aroma bau kaki yang hampir bikin saya mabok udara. Menikmati pemandangan dari dalam pesawat sebelum landing menjadi suatu kewajiban. Gilak! Indah banget! Terlihat perairan yang sangat luas, ini pasti danau Tonle Sap. Danau yang luas, dekat kota Siem Reap itu. Kemudian dari kejauhan terlihat sungai meliuk-liuk panjang di antara dataran yang sangat hijau, dan sedikit digenangi air. 


Saat pesawat landing di bandara internasional Siem Reap, sekitar pukul empat sore, suasana terasa sejuk dan terlihat seperti habis turun hujan. Bandaranya sendiri tidak begitu luas. Lebih kecil dari bandara Ngurah Rai, dan lebih bagus fasilitas bandara kita di Bali sih kalau menurut saya. Landing pesawat tidak merapat di gate. Kita turun dari pesawat di landasan bandara dan berjalan menuju ke dalam untuk pengurusan imigrasi dan custom. Nah di sini pula kepanikan saya mulai muncul!



Masuk ke dalam terminal kedatangan dibagi menjadi dua jalur, kedatangan dan penumpang yang mau transit untuk selanjutnya terbang ke Phnom Penh. Jelas saya berada di jalur kedatangan. Pas di sini saya diarahkan ke visa on arrival. Saya mikir lagi nih. Perasaan, di artikel-artikel yang saya baca, tahun ini pemerintah Kamboja telah sepakat untuk menghapus penggunaan visa bagi warga negara Indonesia yang ingin berkunjung. Karena dulu memang dari seluruh Negara ASEAN, Visa hanya diwajibkan bagi warga Indonesia saja dan sekarang pun teteuup ya ternyata? Apa saya yang kena tipu? -__-



Saya buka dompet. Korek-korek duit. Sambil berdoa menyebut nama Tuhan, nama nyokap, nama bokap, nama leluhur, nama tetangga. Semoga duit saya cukup. Karena sebelumnya untuk visa on arrival ini diluar ekspektasi saya. Saya beranikan diri bertanya pada petugas yang ada waktu itu, “excuse me, do I have to get visa on arrival? I’m Indonesian,” dengan senyum ramah bertanyalah pria imut ini. Seorang bapak-bapak petugas itu menjawab dengan cueknya, “maybe if you come back in 2020 you won’t need to pay for the visa sir,” jawabnya sambil tersenyum licik ala kuda. Lebih mirip keledai sih! Sialan gak pernah diseruduk badak nih bapak?! Saya seruduk juga nih ntar. Emang ya dari tadi saya gak ada tuh melihat tampang orang imigrasi Kamboja yang ramah dan senyum dengan tulus. Uuuh…semua kelihatan songong! Dengan gontai akhirnya pria menggemaskan ini mengantre di bagian visa on arrival. Sekali lagi saya gak bawa foto untuk formulirnya. Jadilah saya bayar visa plus scan passport. Visa $20 + scan passport $1= US $21. Ok fine! Eloh Guweh End sampe disini! Setelah selesai semua urusan visa, imigrasi dan custom, akhirnya saya keluar menghirup udara Siem Reap.



Banyak sekali orang berdatangan menghampiri, menyambut saya yang baru keluar. Mereka nyodorin mic, kamera bertebaran di mana-mana. Jeprat jepret sana-sini ala paparazzi dan saya hanya bisa melambaikan tangan ala miss universe. Tapi itu hanya angan semata. Ternyata mereka menawarkan transportasi untuk mencapai pusat kota. Dari sekian pilihan yang ditawarkan; 1.Ojek, 2.Tuk Tuk (motor taxi), 3.Taxi, ayo tebak saya pilih yang mana….? Yup benar! Karena saya bukan Cinta Laura, walaupun becek, teteup harus ada ojek, dan lumayan buat hemat. Harga untuk ojek adalah $2 dan Tuk-Tuk $4, lumayan hematkan..



Saya gak nyangka sama sekali, kalau naik ojek di sini ternyata menyiksa, apalagi tadinya habis turun hujan dan beberapa area tergenang banjir. Hah mampus! Yang bikin saya rada kurang nyaman adalah motornya jadul L. Kok old fashioned banget ya negara ini. Udah gak pake helm pula! Yang pake helm cuma si tukang ojeknya, yang dibonceng gak. Jadinya rambut saya yang berkilau in terkibas oleh hembusan angin di sepanjang jalan. Beberapa kali saya kena cipratan banjir. Melihat sebelah saya ada bule yang naik Tuk Tuk menatap dengan belas kasihan. Sepertinya naik Tuk-Tuk lebih nyaman deh disaat-saat seperti ini.


Perjalanan dari bandara menuju ke pusat kota Siem Reap disambut dengan pemandangan yang tidak jauh dari suasana pasar Badung. Dari segi tatanan kotanya maksud saya. Ini kota, tapi dari segi fasilitas dan bangunan mereka masih kurang modern. Mungkin benar karena pengaruh beberapa dekade lalu saat pemerintah Khmer merah membunuh orang-orang pintar di Kamboja, yang hingga kini berimbas pada perkembangan budaya dan kemajuan teknologi mereka. Bangunan-bangunannya kental dengan pengaruh kolonial dan beberapa pengaruh dari Perancis yang kuat, berpadu dengan pengaruh para imigran China.

Tips dari saya adalah, kalau naik ojek, hati-hati dengan bujukan si tukang ojek ya. Rata-rata mereka membujuk dan bercerita kehidupan mereka yang suram (pengalaman saya nih). Si tukang ojek akan menawarkan jasa tour, ngajak ke sana lah, ke sini lah, bahkan nawarin saya ke tempat makan yang ada hiburan cewek-cewek bohay! :)) Kalau menurut saya mending pakai Tuk-Tuk aja deh kalau mau ke mana-mana. Lebih nyaman dan berhubung di sini sering banjir di bulan September. Terutama Guesthouse yang saya tempati, di luar areanya digenangi banjir setinggi lutut. Sedap!

Saya stay di Green Town. Ini guesthouse seharga $10/Night, dekat dengan sungai, taman, dan royal palace. Tapi harga tersebut hanya untuk kamar aja lho. Lumayan sih, kamarnya bagus, gede, dan ada air hangatnya. Buat mandi tapi, bukan buat bikin teh ato kopi. Juga ada free internet. Kebanyakan yang stay di guesthouse ini adalah bule yang lucu-lucu, jadi seneng gitu ketemu beberapa pelancong dan bisa diajak ngobrol dan sharing pengalaman, siapa tahu bisa berlanjut jadi gebetan cinta satu malam (joged). Sebenarnya harga akomodasi di sini murah-murah buat para backpacker. Jadi jangan khawatir untuk akomodasi. Juga kalau mau keluar cari makan, harganya juga murah-murah. Hampir sama dengan harga makan di Bali. Cuma saya ingetkan makanan di sini gak begitu ada yang enak. Mereka mengambil konsep dari negara tetangga yaitu Vietnam dan Thailand. Jadi mereka seolah memodifikasi beberapa jenis masakan-masakan dari negara tetangga tersebut. Yang bikin saya shock adalah masakannya didominasi rasa asin.

Karena saya sampai di penginapan hampir menjelang malam, kalau dibandingkan dengan Bali sih di sini kurang sejam waktunya. Nah, saking capeknya saya langsung tiduran sambil menyusun rencana buat besok harinya. Toh juga di luar masih banjir, jadi males kemana-mana dulu. So, habis mandi langsung menuju lounge (lumayan asik lho guesthouse ini) menikmati minum, makan dan chit-chat dengan beberapa penghuni terutama seseorang dari Switzerland… J


Bersambung ke Part III



Follow My:

No comments:

Post a Comment

would be glad to receive any comment