Ini nih yang namanya Pak Komtar :D he |
With Sir Francis Light |
Makanan India buat si Babi :D |
At Fort Cornwallis, hidup sendal jepiiiitt!! |
Sebelumnya: Part 10
Kenapa saya malah berlibur ke
Pulau Pinang? Padahal rencana awal maunya berkunjung ke Kuala Lumpur. Setelah
beberapa hari berwisata di Bangkok dan Pattaya yang notabene adalah kota besar,
keinginan untuk mengunjungi kota besar lagi langsung musnah dalam diri ini. Dua
hari sebelum meninggalkan kota Pattaya, saya yang bertapa keras di toilet sambil
browsing, akhirnya memutuskan
mengunjungi pulau mungil ini. Ya, Pulau Pinang. Karena berhubung ibu kotanya,
George Town, telah dikukuhkan sebagai World Heritage Site sama si abang UNESCO.
Daripada ke Kuala Lumpur, pasti nemu macet lagi, bakal sumpek dan
ujung-ujungnya belanja. Males banget (kalau gak kere sih gak males :D).
Pesawat Air Asia yang saya tumpangi sampai di Penang Internatinal Airport sekitar
pukul enam petang. Langit sudah mulai gelap. Ini gegara pesawat delay dan juga setelah di atas
balik lagi ke Bangkok karena masalah teknik. Sampai di Bandara Pulau Pinang
yang mungil, arrival hall-nya
ternyata jadi satu sama departure, yaelah! Saya lihat bagian depan masih dalam tahapan renovasi dan terpampang gambar
desain bandara dalam beberapa tahun ke depan. Suasana begitu hectic. Saya bingung, apa harus naik taxi atau adakah public transport di sini? Setelah nongkrong sebentar, melongo dengan
tampang seperti orang autis, akhirnya ada seorang lelaki Chinese duduk di samping saya. Untungnya dia baik, dengan gaya bicara khas sekali bahasa Inggris
Singaporean-nya (perpaduan English Chinese). Dari dia akhirnya saya tahu, kalau
di Pulau Pinang ini punya public bus
yang namanya Rapid Penang. Harganya murah, meskipun rada memakan waktu yang
lama (ya biasalah namanya Public Transport, Bus lagi!). Untuk menumpang Rapid
Penang, tidaklah sembarangan. Kita harus tahu dulu nomor bus serta rute yang
dilalui. Kalau sampai salah nomor, ya tujuannya juga salah, so siap-siap kesasar. Lets get lost!
Setelah menunggu beberapa menit, eh sejam lho saya nunggu!
Akhirnya bus pun datang. Ternyata bus ini gak jauh beda dengan SBS Transit (Bus
umum di Singapura). Hanya saja yang membedakannya adalah tidak adanya sistem pembayaran
dengan Easy Link (kartu tap yang bisa di isi ulang, jadi tidak
perlu membayar dengan uang cash/koin).
Maka para penumpang membayar hanya dengan uang cash/koin langsung kepada si bapak sopir. Setelah itu kita akan
dikasi karcis, berupa kertas persegi panjang kecil dengan harga yang tertera
langsung. Di dalam area bus sangat bersih dan nyaman, hanya saja mungkin tempat
duduknya kurang banyak. Jadi terpaksa saya berdiri karena saking penuh oleh
para backpacker. Dari dulu saya paling
gak suka berdiri di bus atau pun MRT (nama train
di Singapura) karena harus mengangkat ketek demi berpegangan. Tahu kan
ketek saya gimana? Wanginya seperti Rafflesia Arnoldi!
Sambil menikmati perjalanan di dalam bus, menuju ke pusat
kota, George Town, saya membaca-baca map
yang tadinya saya peroleh di dalam bandara. Kelihatannya saja kecil, tapi kalau
sudah di jelajahi ya luas juga. Karena ini sudah petang, yang bisa dilihat
hanyalah bangunan-bangunan tinggi lengkap dengan hiasan lampu terang
menyelimuti kehidupan kota di malam hari. Lelaki Chinese yang tadi sempet saya ajak ngobrol pun akhirnya nyamperin lagi, sekalian saya tanya di mana biasanya tempat
menginap untuk para wisatawan backpacker.
Katanya nanti setiap bus akan berhenti di Komtar, di pusat kota George Town. Di
Komtar inilah pusat terminal Rapid Penang. Komtar itu sendiri singkatan dari “Kompleks
Tun Abdul Razak” itu lho salah satu Perdana Menteri Malaysia dulu. Bangunannya menjulang
tinggi seperti Swiss hotel. Saya pikir Komtar itu diambil dari nama salah satu
pelawak kita, itu KOMAR!!!!!
Setelah hampir sejam lebih perjalanan, akhirnya bus
sampai di Komtar, dan semua penumpang keluar. Lelaki Chinese tadi pun menuntun (cuma nunjukin jalan, gak nuntun pake pegangan tangan, eaaa!) saya sambil menunjuk arah jalan tempat di mana banyak ada hotel kelas backpacker. “You just go straight here, then
at crossroad turn right, and then left, then left again, you find Lebuh Chulia,
understand ha?” khas banget emang ya bahasa Inggris orang-orang di sini,
macam orang Singaporean lah. Saya pun
akhirnya ngesot lagi dari Komtar menuju Lebuh Chulia, hingga akhirnya menemukan
tempat menginap yang lumayan (gak bisa bilang bagus kali ini), di lantai dua,
dengan pemandangan gedung Komtar. Walaupun rada berisik karena waktu itu sedang
ada acara keagamaan kaum Chinese. Tapi alhamdulilah yah…nemu kasur itu adalah
sesuatu banget!
Hotel, Staff and
Local People
Saya agak kesal sama seorang staff di hotel tempat saya menginap ini. Bapak-bapak Chinese
(sebenernya udah hampir kakek-kakek sih) yang cerewetnya ampun dah! Saya nanya
satu hal saja, jawabnya bisa beranak pianak, plus dengan gaya bicara seperti
pesawat jet dan sedikit muncrat. Sempat beberapa kali saya berantem gegara AC
mati, terus remote rusak, air panas
mati. Ujung-ujungnya dia yang menang, saya selalu kalah! Anjrit cerewetnya
ngalahin banci salon! Sumpah bĂȘte banget. Baiknya cuma satu. Pas waktu itu saya lagi sakit, dan bertanya kemana harus nyari dokter, dan dia yang seperti biasa dimana saya yang butuh jawaban singkat, menjadi panjang lebar. Tapi sekali lagi sesuatu
banget, saya jadi tahu rumah sakit yang bagus dan murah, meskipun tetep ya mesti bayar RM 200 (RM 1= RP 3000), namanya Seven Days Adventist Hospital, di Jl.
Burma. Itu karena infeksi usus saya kumat L.
Orang-orang di Pulau Pinang sendiri tidak jauh berbeda
dengan komposisi penduduk Singapura. Multirasial. Malay, Chinese, India bahkan
ada beberapa pendatang dari Myanmar dan Thailand. Tidak salah kalau Pulau ini
mendapat sebutan pulau terkecil dengan bahasa terbanyak di dunia. Jadi gak
perlu khawatir, yang gak bisa bahasa Inggris, cukup gunakan bahasa Indonesia,
mereka ngerti kok! Wong banyak yang dagang nasi padang di sini!
George Town, UNESCO World Heritage Site
Tahu
kah pemirsa, tips untuk berwisata mengeksplorasi kota George Town ada
dua dalam kamus saya, yaitu berjalan kaki dan naik Rapid Penang yang khusus
disiapkan oleh pemerintah Pulau Pinang secara gratis lho! (intinya tips saya satu, cari yang gratis! #ngok) Tapi hati-hati sekali lagi, gak semuanya gratis,
jadi harus banyak nanya, mesti naik bus nomor berapa. Biasanya sih bus yang ada
tulisan “CAT” itu gratis oleh pemerintah Malaysia (khusus untuk seputaran kota
George Town). Saya sampai lupa kalau Pulau Pinang ini punya Malaysia. Habis udah
hampir mirip kayak Singapura situasi dan tatanan kotanya. Orang-orangnya juga
apalagi.
Dengan
berbekal kertas ajaib alias map, saya mengitari kota George Town. Kota ini memang unik banget. Perpaduan multikultural
dari Malay, Chinese, India dan Eropa, membekas kuat di setiap sudut kota. Rumah-rumah
atau shophouse (Ruko) kental dengan
pengaruh Eropa, peninggalan awal perang dunia ke dua, dengan perpaduan
arsitektur China (maklum pedagang kebanyakan China).
Rute
yang dilewati oleh CAT (Rapid Penang gretongan) adalah tempat wisata yang
terpenting, wajib dikunjungi. Pertama saya berhenti di Forth Cornwallis. Bangunan
tua ini merupakan benteng peninggalan jaman Perang Dunia, didirikan oleh Sir
Francis Light. Letaknya dekat pantai yang disebut Padang Kota Lama oleh
warga setempat, sebenernya kalo bule nyebutnya Esplanade (tuh kan diterjemahin jadi jelek gitu). Entrance fee cuma RM 2, cukup untuk
mengeksplorasi area dalam bangunan ini yang wow! Seluas lubang hidung. Kecil banget.
Paling cuma liat, bekas meriam, bekas ruang penjara, tempat senjata dan bahan
peledak, dan toilet. Tapi berfoto di sini worth
it banget! Sudah dianggap sebagai landmark
kota George Town.
Setelah
itu tanpa harus naik CAT Bus, dengan cukup berjalan kaki sekitar dua ratus
meter, sudah bisa melihat Port of George
Town. Di tempat ini kita bisa melihat pelabuhan yang kebetulan waktu itu saya lihat ada kapal pesiar Star Cruise lagi mampir. Puas melihat-lihat daerah
pelabuhan, saya lanjut naik CAT Bus, menuju daerah Little India. Di sini saya jalan-jalan sambil membeli makan. Saya masuk ke dalam sebuah kedai makanan
India. Dalam pikiran saya sama sekali gak ada gambaran kayak gimana dan apa yang
khas dari masakan India. Sehingga saya memesan secara membabi buta. Hanya minumannya
yang saya tahu, yaitu Teh Tarik (secara di deket kos ada yang jual). Waktu itu saya melihat ada orang yang lagi asyik makan yang cuma dialasi daun pisang,
dengan nasi putih dan lauk yang beraneka ragam. Nah saya pesan yang sama. Ketika
makanannya datang, ternyata ew! Saya berasa babi beneran gaya makannya kalo
kayak gini. Untuk rasa, di lidah saya cuma berasa seperti kari, bukan selera saya nih ternyata! Maap, meskipun saya suka Kajol dan Aishwarya Rai, tapi saya gak
suka makanannya. Terlalu berat buat perut saya yang super sensitif ini.
Setelah
hampir menjelang petang dan saya masih nyangkut di negeri kecilnya Amitabh
Bachan. Ternyata sebuah kuil yang lumayan bagus di tempat ini sedang ada
upacara keagamaan. Menjelang malam suasana makin riuh. Stand belanja yang menjual pakaian serta aksesoris khas India mulai
bertebaran dengan diiringi suara musik khas India, diputer kuenceng. Tiba-tiba saya melihat diri saya terbalut kain sari, dengan pusar yang item seperti lubang jangkrik, terpamer indah. Pergelangan
tangan dan kaki dipenuhi gelang kerincing yang selalu berbunyi setiap saya berjalan bahkan semakin kencang ketika saya berlari seolah sedang mengejar
Shahrukh Khan. Sampai akhirnya saya mendengar suara “hendak turun dekat mane?” Iya, seorang bapak tukang becak
menyadarkan lamunan saya. Karena saking capeknya berjalan seharian, saya memutuskan menyewa jasa tukang becak saja untuk balik ke hotel, yang ternyata
gak terlalu jauh! Sial! Di sini yang bikin pusing itu jalannya. Kelihatannya
jauh, padahal cuma muter-muter di sekitar situ doank! Sampai di kamar hotel saya langsung selonjoran. Aaaah…nikmatnya kasur itu!
My Tripadvisor Slideshow of George Town here
No comments:
Post a Comment
would be glad to receive any comment