Abang becak di Medan. @courtesy: kaskus |
Mesjid Raya Medan. @courtesy: panoramio |
Sebelumnya Part 12
Para
pembaca yang mengikuti cerita saya dari awal pasti bertanya-tanya sembari
menyunggingkan senyum licik. Kok malah balik ke negeri sendiri? Katanya mau ke
KL sama Singapura?! Iya, di Part I
dengan sumringahnya saya memaparkan itinerary. Dengan bangganya bilang, ke Kamboja dulu, terus Bangkok, KL dan terakhir
adalah Singapura. Nah flash back lagi
nih, tiket yang dulu saya dapat adalah hanya tiket one way untuk ke Siem Reap saja. Gak ada rencana pasti dari semua itinerary saya waktu itu. Toh juga Negara
yang saya kunjungi masih deket-deket dan gak usah urus Visa (kecuali Kamboja
tuh! Kurang ajiar!). Jadi bermodal kenekatan itulah semua itinerary bisa berubah seketika.
Pertama, pikiran saya yang suka neko-neko ini berubah
waktu di Pattaya. Saya yang tidaak mau lagi sumpek dengan suasana kota besar, memilih ke Penang Island (Pulau Pinang) gak jadi ke
KL. Karena saya lihat lebih bermakna daripada KL. Lebih suka tempat wisata yang
ada sejarahnya, bukan Mall yang gede-gede
(selain alasan utama kere). Then kedua
setelah Pulau Pinang, akhirnya diputuskan gak jadi ke Singapura. Karena
toh juga saya sudah pernah tinggal di “Negeri Singa” ini selama enam bulan, di
tahun 2007 lalu. Jadi saya sudah tahu lah bagaimana kota Singapura
itu. So, saya memutuskan tempat kunjungan dadakan berikutnya adalah….jreng jreng
jreng! Danau Toba…yay! Horas Bang! Mumpung deket tuh ke Medan karena jarak
tempuh cuma sejam dari Pulau Pinang. But I
tell you what, it was worth it!
Dari Bandara Internasional Pulau Pinang saya naik si
pesawat merah lagi. Kali ini saya hampir ngos-ngosan saking takut telat gegara
bingung naik bus nomor berapa buat ke airport. Saya pikir gak jauh dan paling juga tinggal naik bus, udah. Memang dasar saya gak
bisa baca skala peta! Udah nunggu, bus
lama, salah prediksi lagi. Di dalam bus udah kayak kehabisan oksigen. Bukan
cuma karena takut ditinggal pesawat si jago merah. Tapi karena ada orang gila
(kakek-kakek India) di row seat
sebelah. Dia ngomong sendiri dengan intonasi yang kadang makin meninggi. Apalagi
setelah ada seorang ibu-ibu membawa anak kecil yang menangis. Tuh kakek semakin
menjadi-jadi. Kadang mengepalkan tangan sambil ngomel, dan menatap ke arah saya.
Kok saya kek? Saya gak nangis, cuma nahan kencing kek. Nafas saya kadang hampir
mau tercekak. Itu ibu-ibu langsung turun dari tempat duduk, dan mencari posisi
ke depan, dekat pak sopir. Saya? Masih diam mematung. Kemudian ada anak-anak
sekolahan datang dan duduk di belakang si kakek gila. Si kakek mulai bertingkah
lagi, kali ini ia sok bertebak-tebakan ria sama anak-anak sekolah tersebut. Namun,
tak ada satu pun yang menjawab. Sepi. Sunyi. Krik. Murid-murid saling menatap
penuh makna satu sama lain. Saya tersenyum menatap mereka, sambil berbisik “C-R-A-Z-Y,”
akhirnya mereka mengerti. Beberapa menit kemudian, si kakek berdiri sambil
terhuyung. Waduh! Dia denger saya bilang crazy! Saya pun mundur sejenak mengambil jurus kuda-kuda. Gimana kalau si kakek mau nyekik
leher saya, dan berkata “you said I’m
crazy ha? You never taste Capati before ha?” terus saya digampar-gampar
pake capati plus disiram kuah kari. Jadilah saya paket Nasi Kendar siap saji di
dalam bus ini! Oh noo…! Tapi tiba-tiba saya lihat dia memencet bel, dia turun dan keluar sambil menjawab
tebak-tebakannya sendiri dan ngomel ngarul ngidul. Hah, legaaaa…saya cuma bisa
menatapnya dari jendela, dan ketawa ngakak bareng murid-murid tadi. Hadeeeeh….ada
orang gila juga di Malaysia yah?! *polos*
Setelah sampai di airport saya langsung check-in
dengan tanpa halangan. Tinggal naik pesawat dan say goodbye to Penang Island. It was great time! Meskipun sempat hampir dying karena sakit usus saya kambuh di sini. Tak lama kemudian setelah take off, saya merasa keroncongan, namun heran kok si mbak-mbak
pramugari gak ada yang nawarin makanan. Saya akhirnya ke belakang sambil
sekalian pesen roti secara personal. Setelah
balik duduk, baru saja mau melahap itu roti, ebuset si Pilot sudah ngomong
aja, “Para penumpang kita akan segera
mendarat di bandar udara Polonia Medan, harap semua alat elektronik seperti CD
player, DVD player, laptop segera dimatikan. Dan penumpang atas nama Putu,
tolong lahap segera roti anda!” #keselek (kalimat terakhir cuma muncul di
pikiran saya secara spontan!) Jiah cepet banget Bu?!
Saya pun mendarat dengan aman. Adem juga. Meskipun bandaranya
kecil dan seramai Pasar Badung, di sinilah letak excitement-nya begitu terasa. Keluar dari Bandara saya langsung disambut seperti biasa, jasa sopir Taxi! Wartawan sama kameramen pada kemana yak?
Halah! Setelah duduk sejenak sambil minum (maklum tadi habis keselek roti!) saya cek si buku lonely planet lagi. Baca lagi
di mana ada guesthouse yang murah di
pusat kota Medan. Berhubung juga saya bakal stay
satu malam aja, karena keesokan hari langsung cabut ke Danau Toba. Maklum karena
dari Medan menempuh waktu empat jam lho, jadi gak mungkin saya langsung ke Danau
Toba. Bisa struk di jalan! Setelah mendapat ilham dari si buku ajaib, akhirnya saya memutuskan buat menginap di Angel, berlokasi di Jl. Sisingamangaraja. Saya setiap kali nyebutin ini nama jalan selalu jelimputan, sampai akhirnya saya bilang ke sopir taxi, “Itu lho Bang jalan yang ada raja
singanya itu,” *gubrak*. Tawar-menawar taxi dari Rp.60.000 menjadi Rp.30.000.
Pertama saya dikira orang Jakarte. “Ayolah
Bang, orang Jakarta ke sini sudah biasa harga itu Bang,” begitu kata Si
Bapak sopir dengan logat asli Batak (tirukan dengan suara Batak bacanya ya). Terus saya jawab “Eits, etapi saya bukan orang
Jakarte Bang, saya orang Bali, nah lho…” sambil bercanda menirukan logat
Batak, Si Bapak sopir sumringah. “Wah
baru kali ini saya liat orang Bali malah mainnya ke Medan,” oalaaah Bapak….rempong
deh! Setelah berbasa-basi sambil tetep colak-colek pinggang Si Pak sopir
akhirnya saya dapet harga setengahnya. Hehehehe….
Selama ini saya tinggal di guesthouse dari referensi buku lonely
planet. Waktu di Siem Reap, Bangkok, dan Pattaya, saya selalu dapet guesthouse dengan harga murah namun
dengan fasilitas dan kualitas tidur yang tetap lumayan bagus. Tapi kali ini,
ew! Guesthouse ini yo owoh, saya langsung memasang tampang manyun dan unyu ala baim, berdoa, yo owoh cobaan apa
ini yo owoh…, bangunan rada tua, lusuh, spooky,
kamar kecil, toilet bauk, berisik lagi, saking deket banget sama jalan raya dan
Mesjid Agung. Yah, tapi gak apalah, toh juga besok cabut! Setelah naruh semua
barang di kamar saya langsung nangkring di reception
sambil bertanya-tanya ini-itu. Dari tempat makan dan nongkrong di malam hari
yang enak itu di mana, sampai ke pemesanan mobil buat diantar ke Danau Toba
esok hari. Karena berhubung masih sore hari, yaitu pukul lima sore. Saya berasa jet leg (halah gaya!) padahal cuma beda
waktu kurang satu jam dari waktu di Pulau Pinang. Jadi kadang saya ngerasa
bingung aja gitu. Saya nyempetin jalan kaki bentar di seputaran kompleks Mesjid
Raya, sambil liat-liat cemilan. Habis itu balik lagi ke penginapan, mandi dan
keluar makan malam. Saya ngerasa sumpek banget di kota ini. Parah banget para
pengendara motor maupun mobilnya. Bunyi klakson di mana-mana. Terus pada ngebut
kayak komeng lagi. Pada gak sabaran semua! Riweh! Maklumlah Medan kan kota
terbesar ke tiga di Indonesia, setelah Jakarta dan Surabaya.
Dengan menumpang becak yang unyu (hampir seperti tuk
tuk di Kamboja, hanya saja yang ini, gandengannya di samping) saya diantar ke
Merdeka Walk. Tarifnya Rp.10.000. Tips bernegosiasi di sini adalah, tawar
setengah harga! Karena mereka suka naikin harga setengah lebih. Bila perlu banyak-banyaklah
bertanya di receptionist, jadi kita
tahu mengenai tarif senormal-normalnya. Tapi sialnya sampai di Merdeka walk
malah hujan deres banget! Sialan! Jadi gak bisa cuci mata. Terpaksa nongkrong
saja di salah satu restorannya sambil makan dan ngopi. Hampir jam sepuluh malam,
hujan masih rintik-rintik, akhirnya saya ngalah buat beli payung, dan berjalan ke
jalan raya mencari becak. Akhirnya nemu juga dan baliklah ke guesthouse lagi. Yah… L
Bersambung ke Part 14
Follow My:
No comments:
Post a Comment
would be glad to receive any comment