Friday, November 25, 2011

Liburan Part 12: Mendaki Bukit Bendera, Penang Hill


Penang Hill's Train


Beautiful background and gorgeous model! halah...!

Kuil umat hindu (India), aca aca saya pesan capati dua...

Gorgeous European style house around trekking area, Penang hill

Sebelumnya Part 11

Hari ketiga di Pulau Pinang saya memutuskan untuk mengunjungi daerah wisata yang cukup terkenal, bernama Penang Hill. Berhubung ini hari terakhir sebelum esok hari harus cabut menuju Danau Toba. Sebenarnya masih kurang nyaman untuk berjalan-jalan, karena usus saya masih rada bermasalah. Takutnya pas lagi menikmati suasana tiba-tiba kambuh, terus pendarahan, dan saya dilarikan warga setempat ke Rumah Sakit Korban Lelaki! Ew, takutnya saya disangka keguguran…


            Tapi, walaupun masih sedikit kurang nyaman, dengan memasang tampang menahan nyeri, saya tetap melanjutkan misi untuk mengeksplorasi Penang Hill. Untuk mencapai tempat wisata ini cukup menumpang bus tujuan Penang Hill. Saya lupa nomor berapa, yang jelas cuma bayar sekitar RM 1.8, murah kok. Mungkin memakan waktu sekitar 30 menit. Saya duduk tepat di samping seorang nenek Chinese, yang bikin saya gak nahan adalah, maap ya nek, si nenek bauk L. Haduh, lengkap sudah, nahan nyeri plus sekarang nahan nafas. Mau pindah udah gak ada tempat, penuh semua. Untungnya saya bawa pain killer, lumayan menghilangkan nyeri, walaupun tidak bisa menghilangkan bau badan si nenek.

            Sampai di Penang Hill, yang juga dikenal dengan sebutan Bukit Bendera, akhirnya saya bisa bernafas lega. Suasana di sini sangat segar karena sekarang saya tepat berhenti di kaki bukit. Menengok kearah bukit yang hijau, terlihat sebuah kereta monorel sedang melaju, menanjak ke puncak bukit. Wow! Kereeen, upil saya sampe netes. Untuk naik ke atas bukit kita menaiki train tersebut, dengan membeli tiket terlebih dahulu, seharga RM 30. Maka sampai di atas bisa sepuasnya menikmati pemandangan seharian. Tempat ini sangat turistik, rame banget!

            Setelah berhasil mendapatkan tiket, saya diarahkan menuju platform train. Masih menunggu. Karena kereta pertama sudah penuh, dan kereta akan balik lagi sekitar 15 menit berikutnya. Menaiki kereta ini menuju ke atas bukit memberi sensasi tersendiri. Saya duduk paling ujung, sehinggan pas kereta naik, bisa melihat pemandangan di bawah. Persaingan di dalam kereta untuk berfoto pun mulai bermunculan. Diantara mereka saya mendengar suara khas Batak, jiah ternyata! Memang dari kemarin, gak di RS, rumah makan padang, pasar, bus, pasti ada aja orang Batak. Maklum cuma sejam terbangnya dari sono.

            Setelah sampai di puncak, saya langsung disuguhi pemandangan 180 derajat kota George Town, pantai, dan Penang Bridge yang panjangnya mencapai 13.5 km. Bahkan bakal dibangun lagi Penang Bridge yang kedua, masih dapat kita lihat proyeknya dari atas bukit ini. Konon setelah jadi nanti panjangnya sekitar 20 km! Ebuset dah!

            Menikmati pemandangan sambil berfoto itu wajib. Latar belakang pemandangan kota George Town sangat menawan dan spektakuler. Ketika saya menyandarkan diri di sebuah pembatas besi, perasaan ada bau yang gak enak. Seperti biasa indera penciuman saya yang super sensitif ini gak mau acuh begitu saja. Ternyata di sebelah saya tempat menyandarkan siku, ada tahi burung! Eeeeww! Saya langsung ngomel sama petugas yang lagi stand by waktu itu. Bapak-bapak (lagi-lagi India) kumisnya itu lho kagak nahan, seperti inspektur Vijay polisi Bombay! Yang anehnya lagi, di bilang iya, tapi malah geleng-geleng kepala…

            Lebih ke atas lagi, lokasi ini makin dipenuhi oleh para wisatawan, bule maupun lokal. Khususnya anak sekolahan, entah mereka sedang tour atau ngapain. Ada kuil khusus untuk umat Hindu India, ada hotel, ada juga Mesjid dan tempat membeli oleh-oleh serta makanan yang disebut hawkers. Sebelum memasuki area ini lebih jauh, kita akan disapa beberapa petugas yang menawarkan jasa boogie untuk menuju area bukit yang lebih dalam, karena katanya sekitar 5 km lagi lho kalau mau. Juga ada jasa penyewaan dan kursus menaiki Segway, tapi masak harganya RM 60 buat 20 menit. Gile lah!

            Saya yang dikenal sebagai Tinja Hattori waktu kecil dulu, malu donk kalo harus naik boogie. Jadi lebih memilih trekking sendiri sambil menuju arah yang katanya sebuah tempat pembudidayaan tanaman. Btw maksud saya tadi Ninja Hattori, bukan Tinja! Saya yang begitu semangatnya langsung berjalan semakin dalam, hanya saya dan ada lima orang bule dari Inggris yang juga melakukan trekking. Sisanya boogie melintas sambil melambaikan tangan ala Miss Universe kearah saya.

            Semakin kedalam, sepertinya tidak terlihat kemana jalan ini akan bermuara, lima bule tadi yang berada di depan saya pun putar arah, balik kanan gerak! Jadilah saya sendirian. Saya yang suka banget sama alam, terutama trekking, karena waktu kecil dulu sering melakukan hal yang sama. Sampai emak saya takut-takut kalo disembunyiin tuyul, saking sampe jam 6 sore belum pulang ke rumah, gegara waktu itu asyik nongkrong di air terjun. Emak saya emang over protective, lagian siapa juga yang mau nyekap saya, pasti nyesel donk yang ngasi makan. Bisa bangkrut!

            Sepanjang jalan ini, saya melihat banyak rumah-rumah berarsitektur Eropa, dengan tropical garden yang rindang dan hijau. Yang bikin saya penasaran adalah, ada beberapa cabang jalan kecil yang diberi nama khas nama-nama Eropa. Saya akhirnya memutuskan untuk menjelajahi jalanan kecil tersebut. Semakin ke dalam ternyata semakin kecil. Tapi flora yang tumbuh di sini, wow keren, saya sampai merasa terbius suasana kesegaran alami hutan ini (brasa kayak iklan pengharum ruangan). Sepertinya banyak orang kaya yang punya rumah peristirahatan pribadi di sini. Villa yang bagus bergaya Eropa. Keren-keren banget! Cuma saya seorang diri yang melakukan trekking sampai ke dalam area ini. Orang-orang rame tadi pada kemana aja coba! Goblok banget. Males jalan atau takut atau gimana…

            Semakin jauh menjelajahi daerah ini, saya sampai lupa ini sekarang baliknya gimana. Jalanan yang terlihat baru dibersihkan ini saya ikuti saja. Untung di beberapa persimpangan jalannya ada penunjuk arah. Tepat di sebuah tikungan saya melihat sebuah rumah yang sangat tua, masih berarsitektur Eropa yang kental. Namun saya perhatikan rumah ini sudah tidak terurus lagi. Beberapa genteng di pintu depan roboh. Padang rumput tumbuh liar di sekitar halaman. Entah kenapa bulu kuduk saya langsung merinding, bulu ketek saya rontok, dan bulu yang di bawah terbakar. Seolah ada yang memanggil saya waktu itu, untuk mampir. Sepertinya begitu kuat. Kalau saja waktu itu saya lagi pengen buang hajat, mungkin saya sudah mampir. Tapi untunglah dengan penuh kesadaran saya bangkit dari lamunan yang aneh itu, dan buru-buru jalan keluar dari area tersebut. Ih, serem banget!

            Dengan berkucuran keringat dan rasa takut, akhirnya saya sampai juga di ujung jalan utama tadi. Fiuh! Pengalaman yang gak akan pernah terlupakan! Akhirnya saya menuju food hawkers buat nyari makan dan minum. Jadi lemes banget. Setelah itu saya memutuskan untuk balik ke hotel dan bersiap untuk menuju ke Danau Toba keesokan harinya.

Bersambung ke Part 13


Follow My:

2 comments:

  1. Info bagus,trus berkarya,lam kenal,kunjung balik ya ke blogku :http://yandirabali.wordpress.com/. Dan ingat comentnya,thx

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete

would be glad to receive any comment